Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Mei, 2011

Penulis : Elisatris Gultom, SH, MH
Sumber/Link :
Kesimpulan :
Transaksi e-commerce tidak luput dari resiko kerugian. Perjanjian asuransi antara lembaga otoritas sertifikat dengan perushaan asuransi merupakan cara tepat untuk mengalihkan resiko kerugian, terutama pada transaksi e-commerce yang menggunakan kunci kriptografi dan secure electronic transaction. Upaya ini sekaligus sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Read Full Post »

PERKEMBANGAN DOKTRIN TINDAKAN NEGARA (ACT OF STATE DOCTRINE) SETELAH KONSEP KEKEBALAN NEGARA (TEORI IMUNITAS)
Moch. Basarah
Abstract
The concept of absolute immunity is not longer preserved because of recognition against act of state doctrine. However, notwithstanding the cease of the concept, the protection of state sovereignty remains firmly in place. The protection of absolute immunity can be granted when a state act in iure imperii, but not it related to matters of a commercial nature. Act of state doctrine will be deemed as a state act, provided that it is conducted within the territorial jurisdiction. Thus, the doctrine can be use to determine whether it is iure imperii or iure gestiones.
Kata kunci: imunitas mutlak, kekebalan negara, act of state doctrine.
A. Pendahuluan
Kedaulatan merupakan aspek utama dalam pergaulan negara yang satu dengan lainnya (dan organisasi-organisasi negara) yang diatur oleh hukum. Brownlie mengatakan bahwa kedaulatan suatu negara akan menentukan bentuk hukum negara tersebut sedangkan hukum akan menentukan syarat adanya kedaulatan. Pengertian kedaulatan ini memang merupakan kata yang sulit karena dapat menimbulkan arti yang berlainan. Jika arti kedaulatan itu dimaksudkan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengertian inilah yang banyak menimbulkan salah paham Karena tidak mungkin hukum internasional mengikat negara, jika negara merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi.
Pengertian kedaulatan negara ini apabila dikaitkan dengan tindakan negara (act of State) misal pengambilalihan hak milik orang asing, pencabutan ijin usaha orang asing dan sebagainya ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Permasalahan yang timbul dari tindakan negara tersebut adalah apakah tindakan negara dari suatu negara berdaulat dapat dituntut oleh suatu pengadilan di luar wilayahnya.Gerald Fitzmauricemengemukakan dua hal; (a) mengakui kekebalan negara secara mutlak dari proses persidangan apapun kecuali atas kesukarelaan; (b) membedakan antara tindakan negara dan tindakan non negara, dengan mengakui kekebalan bagi tindakan negara dan menolak kekebalan bagi tindakan non negara.
Pada mulanya konsep kekebalan negara yang dianut adalah kekebalan mutlak, namun konsep kekebalan mutlak ini hanya bisa bertahan sampai abad ke 19.Hal tersebut disebabkan karena terjadinya praktek hukum pengakuan terhadap doktrin tindakan negara, sehingga pendukung doktrin kekebalan absolut menjadi berkurang. Karena pada kenyataanya penerapan kekebalan absolut sangat sulit dilakukan. Namun demikian, dalam yurisprudensi beberapa negara, perlindungan terhadap suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya, hanya diberikan apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu negara dengan kekuatan politisnya bukan sebagai pedagang
Di Inggris penerapan konsep kekebalan negara sangat dibatasi, yang hanya dapat diterapkan pada aktivitas-aktivitas publik dan pemilikan hak untuk tujuan publik. Sedangkan Amerika Serikat, kekebalan negara ditolak jika tindakan-tindakan negara yang dilakukan tidak berkaitan dengan fungsi pemerintah. Sedangkan di Belanda dan Jerman kekebalan negara hanya diberikan terhadap tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai imperium. Tetapi dalam praktek khususnya di Belanda tidak dapat menerapkan konsep tindakan negara atas hak milik orang asing (property) dan aktivitas-aktivitas negara asing berdasarkan kedaulatannya. Karena sulitnya untuk membedakan antara tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai negara berdaulat (acta imperii) dan tindakan negara dalam melakukan aktivitas ekonomi (acta gestionis), terutama sebelum tahun 1943.
Perbedaan pendapat antara penerapan konsep kekebalan negara yang mutlak (absolut) dan kenyataan dalam praktek berbeda di setiap negara. Disatu pihak banyak perusahaan negara maju yang telah melakukan investasi untuk mengembangkan usahanya di negara lain. Tetapi dilain pihak dalam beberapa kasus terdapat tindakan negara yang diadili pengadilan asing berkenaan dengan pengambilalihan namun tidak pernah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan asing tersebut.
1. Teori Imunitas
Konsep kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan para ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi hukum internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara. Terhadap masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa perkembangan hukum kekebalan negara tidak perlu membahasnya secara khusus, karena sebagian besar sumber hukum kekebalan negara diperoleh dari keputusan-keputusan pengadilan sebagai bukti praktek negara dalam bidang ini. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure imperii. Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan kebijaksanaan yang bertentangan dengan kecenderungan ini.
Adanya kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain tetap merupakan bagian penting hukum internasional. Karena kekebalan negara pada dasarnya mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara dari campur tangan atau gangguan dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak melanggar hukum.
Terhadap konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya perkembangan yang dapat mengubah konsep klasik kekebalan negara, karena turut campurnya negara dalam bidang perekonomian nasional dan internasional yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat, dan fungsi negara pada umumnya. Seperti, pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang dilakukan oleh negara, menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara.
Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara atau kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk hubungan ekonomi biasa Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional terdapat dua bentuk (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan negara-negara lain sebagai pemerintah; (2) hubungan melalui perusahaan-perusahaan negara yang tidak bertindak atas nama negara.
Lain halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai organ negara dalam kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam keadaan-keadaan tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan. Karena tidak ada ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum internasional untuk mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau kekayaan negara. Karena dilain pihak perusahaan milik negara dipandang sebagai badan hukum terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu. Sedangkan menurut Undang-undang Hukum Perdata negara-negara sosialis di Eropa, perusahaan milik negara tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan negara. Perlu pula diketahui bahwa perusahaan negara meskipun tidak diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat bertindak untuk kepentingan sendiri baik tanggung jawab maupun kewajibannya.
Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan. Pengadilan negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik.
KPE Lasok dalam membahas kasus Rorimplex, berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan sendiri, tapi hanya menjalankan keinginan Pemerintah. Namun, dalam beberapa hal organ negara mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan atau individu-individu dari negara lain (asing), meskipun kedudukannya untuk melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit.
Keragaman isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara, memberikan bukti bahwa hukum kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh karena itu, pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar negara dapat memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara tersebut dalam hubungan mereka dengan perusahan-perusahaan asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika kekebalan negara hanya dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar negara tertentu.
2. Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine)
Dalam hubungannya dengan kekebalan negara, terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau Secondary Immunity. Doktrin tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh perubahan yurisprudensi Inggris. Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan negara relatif langka dan kurang mendapat perhatian selama bertahun-tahun sebelum kasus Sabbatino. Tetapi kasus-kasus yang terjadi telah memperlihatkan suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa mendatang. Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang ekonomi. Doktrin ini tampaknya baru dapat diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus.
Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah peraturan hukum negara asing dapat diberlakukan jika negara asing tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan doktrin kedaulatan, karena kedua doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain.
Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan oleh kekuasaan eksekutif atau administratif dari suatu negara merdeka dan berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah[. Oleh karena itu, doktrin tindakan negara akan muncul dalam berbagai bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing.
Di negara-negara Anglo Saxon, Inggris dan Amerika serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negara-negara Anglo Saxon akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara berdaulat (iure imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921, dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin tindakan negara tidak memiliki otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill.
Namun, tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan pengaruh lebih penting dalam penerapan doktrin ini. Prinsip doktrin tindakan negara dalam bentuknya yang modern dapat diketahui dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim Gilbert yang menangani kasus tersebut menyatakan :
“Berdasarkan sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa dan hukum internasional, pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari pemerintah negara lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri”
Dalam kasus tersebut, sebagaimana telah diputuskan oleh Hakim Gilbert tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tergugat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik San Domingo, yang dianggap cukup untuk dijadikan dasar keputusan Pengadilan mengenai kekebalan pribadi yang dinikmati pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas tindakannya yang dilakukan sesuai kapasitasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
“Meskipun individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan asing, tetapi pelaksanaan kedaulatan suatu negara harus memelihara perdamaian dan harmonisasi di antara bangsa-bangsa”
Dari simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang mempunyai kekebalan (ratione personae), tetapi juga tindakan-tindakannya harus dianggap kebal dan tidak dapat diuji oleh hakim asing. Inilah suatu imunitas ratione materae atau juga doktrin tindakan negara.
Untuk mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya keselarasan antara pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan dan mengakui hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang dituntut pada kehidupan masyarakat internasioal yang merupakan bangsa-bangsa beradab.
Di samping itu, batas-batas doktrin tindakan negara dapat ditemui melalui peraturan-peraturan yang biasa digunakan dalam Conflict of Laws. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan : (a) jika negara asing yang berdaulat atau wakil-wakilnya sebagai tergugat, caedit questio, berlaku doktrin kekebalan negara; (b) jika tindakan negara tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional; (c) jika kerugian dilakukan berdasarkan lex loci delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika tergugat setuju atas gugatan tersebut; (d) jika suatu konfiskasi atas harta benda telah terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak bertentangan dengan hukum internasional; (e) jika keabsahan suatu Undang-undang negara asing menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya agar tidak bertentangan dengan negara asing tersebut.
Bankes, yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada pertimbangan kebijaksanaan publik negara forum (public policy of the forum) yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Warrington mengatakan, bahwa pada prinsipnya keabsahan tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun orang tidak dapat diuji oleh pengadilan suatu negara selama tindakan tersebut berada dalam yurisdiksinya.
Berdasarkan uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai doktrin tindakan negara, tidak perlu dibandingkan apakah doktrin tersebut merupakan ketentuan hukum internasional publik atau apakah harus dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional. Karena tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan penerimaan ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional. Dan tidak pernah ada gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya menerapkan doktrin tindakan negara.
C. Praktek Act of State Doctrin Yang Melibatkan Indonesia
Dalam perkara ini penggugat (Industrial Invesment Development Corporation, Indonesia Industrial Invesment Corporation, Ltd. dan Forest Products Corporation Ltd.) telah mengadakan kerjasama dengan pihak PT. Telaga Mas untuk bersama-sama melakukan logging serta mengekspor kayu keberbagai negara, antara lain Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah memberikan kemungkinan untuk memperoleh konse­si hutan di wilayah Kalimantan melalui PT Telaga Mas. Untuk kepentingan tersebut para pihak telah membuat suatu joint venture agreement pada tahun 1970.
Pihak tergugat Mitsui (Multinational Corporation Mitsui and Co. Ltd. dan Mitsui and Co. Ltd. (USA) dianggap telah membuat suatu perjanjian dengan pihak PT. Telaga Mas yang kemudian dianggap merugikan penggugat. Pengaruh hubungan PT. Telaga Mas dan Mitsui, menyebabkan PT. TELAGA MAS tidak melanjutkan final agreement. Dengan demikian dapat diketahui putusnya hubungan hukum antara PT. Telaga Mas dengan penggugat disebabkan adanya intervensi pihak Mitsui.
Atas dasar sengketa tersebut Dirjen Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia melarang melanjutkan persetujuan yang telah dilangsungkan antara perusahaan joint venture (penggugat dengan PT. TELAGA MAS) dengan pihak pemerintah Indonesia. Hal ini dijadikan dasar oleh pemerintah Indonesia untuk membatalkan persetujuan melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menganggap bahwa pihak yang mewakili PT. TELAGA MAS dalam joint venture tidak mempunyai wewenang untuk mewakili perusahaan tersebut dalam penandatanganan joint venture agreement. Dengan demikian Pemerintah menganggap tidak dapat mengeluarkan ijin HPH kepada joint venture yang telah dibuat antara PT. TELAGA MAS dengan penggugat.
Dalam kasus ini penggugat melalui pengadilan Amerika Serikat yaitu District Court Texas meminta ganti rugi berdasarkan Antitrust Law Amerika, yaitu Sherman Act; karena menganggap adanya pelanggaran praktek anti competitive, berkenaan dengan operasi penebangan kayu dan sebagainya di Kalimantan. Pihak Mitsui telah mengajukan suatu permohonan sidang kilat, dengan mengajukan eksepsi act of State doctrine tuntutan ganti rugi penggugat terhadap pemerintah Indonesia tidak dapat dilanjutkan. Dalam tingkat pertama argumen Mitsui dibenarkan dan pengadilan menganggap bahwa penolakan suatu konsesi kehutanan untuk penebangan kayu bagi penggugat yang dilakukan oleh Dirjen Kehutanan merupakan tindakan pemerintah Indonesia yang diakui oleh Amerika Serikat. Dengan ditolaknya ijin HPH, penggugat tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi karena dasar penolakan ijin HPH oleh Dirjen Kehutanan RI memiliki alasan yang kuat. Menurut District Court Texas, perkara tersebut tidak termasuk wewenang hakim AS, oleh karena itu gugatan pihak penggugat tidak dapat diperiksa dan eksepsi tergugat dikabulkan.
Dalam tingkat banding pihak penggugat (Industrial Invesment Development) memperoleh putusan yang berlainan, karena dalam putusannya argumen Act of State doctrine tidak dipersoalkan, dengan perkataan lain pengadilan banding menolak argumen Act of State doctrine tergugat. dasar putusan tersebut, perkara gugatan penggugat kepada tergugat dapat dilanjutkan, untuk itu perkara harus diperiksa ulang. Pengadilan Banding menganggap bahwa argumentasi Act of State Doctrine tidak tepat digunakan karena kerugian yang terjadi disebabkan tindakan penggugat yang berkomplot dengan pihak PT. TELAGA MAS dengan tindakan mengahangi kompetisi bebas, sehingga ijin HPH ditolak oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian terdapat satu fase sebelum adanya penolakan ijin HPH, yang ternyata pihak tergugat telah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak PT. Telaga Mas yang tadinya merupakan partner penggugat.
Penggugat dalam pengadilan banding mengajukan tiga masalah agar Act of State Doctrine tidak berlaku.Para tergugat tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri yang tercela, perbuatan-perbuatan mana harus dilihat secara berdiri sendiri dan terpisah walaupun perbuatan dari Pemerintah Indonesia menambah kerugian yang telah diderita para penggugat; sehinga tidak diberikannya ijin HPH kepada penggugat (joint Venture) oleh pemerintah Indonesia dapat dianggap bukan sebagai tindakan Pemerintah, tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu dalam melakukan Forestry Agreement dengan joint Venture bersangkutan. Jika melihat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi terdapat ketentuan yang menyatakan, bahwa syarat-syarat dan cara mengajukan permohonan serta cara memberikan hak pengesahan Hutan ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
Sedangkan Pasal 11 ayat (1) mengatakan “Hak Pengusahaan Hutan diberikan oleh Menteri Pertanian setelah mendengar pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan”. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah argumentasi penggugat yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia bukan sebagai tindakan pemerintah (berdaulat) tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu. Jika diteliti, pendapat penggugat dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 11 (1), tampaknya ketentuan ini tidak memberi peluang pemberian ijin HPH dengan suatu perjanjian tertentu.
Dalam kaitannya dengan kasus di atas, dapat dipastikan jika para pihak merupakan perusahaan penanaman modal asing, maka sebelum melakukan kegiatannya terlebih dulu akan mengikuti ketentuan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan PMA yaitu menandatangani perjanjian penanaman modal asing (PMA). Baik dalam bentuk perjanjian jaminan PMA (Invesment Guaranty Agreement) maupun perjanjian penanaman modal antara perusahaannya dengan Pemerintah Indonesia yang di dalamnya terdapat klausul penyelesaian sengketa atau suatu consent yang bentuknya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase ICSID. Konsekuensi dari isi klausul tersebut, bagi pihak yang wan-prestasi harus mentaatinya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan pihak penggugat pemberian HPH merupakan perjanjian tertentu artinya terdapat dalam perjanjian penanaman modal, tidak mungkin jika di dalamnya tidak termasuk consent tersebut yang mengarah ke arbitrase ICSID (centre). Karena biasanya bagi pihak asing pilihan hukum atau pilihan pengadilan tersebut merupa­kan komponen yang sangat penting dan tidak pernah diabaikan.
Dengan demikian bagi pihak penggugat jika men­ganggap dengan tidak diberikannya ijin HPH oleh pihak pemerintah Indonesia sangat merugikan. Maka dengan dasar perjanjian tersebut, sebenarnya dapat melakukan gugatan secara langsung sesuai dengan ketentuan Konvensi Washington 1965 (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1968, yaitu melalui arbitrase ICSID.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ditolaknya ijin HPH oleh pemerintah Indonesia dilakukan atas dasar tindakannya sebagai suatu negara berdaulat (public act atau iure imperii), karena jika tindakan suatu negara atas dasar tindakannya dalam kapasitas iure gestiones (commercial act) harus dilakukan oleh Perusahaan Negara (BHMN). Tindakan Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan ijin HPH kepada perusahaan Joint Venture tersebut dilakukan sebagai tindakan prefentif yang merupakan jalan keluar bagi pengamanan hutan karena terjadinya sengketa pihak pengelola hutan yang kemungkinan akan melalaikan kewajibannya.
Demikian pula, jika melihat latar belakang kasus ini ternyata para pihak yang keduanya merupakan perusahaan swasta asing berbadan hukum Indonesia, sesungguhnya harus mentaati ketentuan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya tindakan Pemerintah Indonesia merupakan hal yang wajar, walaupun keyataannya merugikan para pihak. Karena jika kembali kepada dasar gugatan dalam proses pengadilan pertama (pengadilan District Court Texas), sesungguhnya dasar gugatan tersebut tidak dapat dilepas dari masalah pemberian ijin HPH Pemerintah Indonesia.
Dengan demikian jika tergugat mengemukakannya berdasarkan Act of State doctrine, menurut hemat penulis adalah tepat. Bahkan sampai tingkat bandingpun argumen Act of State doctrine ini dapat di pertahankan. Hal ini jelas, jika melihat pendapat penggugat yang mengatakan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia bukan merupakan tindakan negara berdaulat yang diakui oleh Amerika sebagai negara forum. Maka dapat disimpulkan bahwa penggugat memisahkan sebab dan akibat dari perkara bersangkutan, apakah sistem hukum negara bagian Amerika Serikat menganut ketentuan ini?. Karena tidak mungkin terjadi suatu sengketa tanpa didahului oleh suatu hubungan hukum, sedangkan hubungan hukum ini merupakan dasar yang penting untuk mengajukan suatu gugatan.
Apabila melihat peraturan khusus masalah imunitas dari negara-negara yang menghadapi perkara tersebut. Secara khusus di Amerika Serikat telah dibuat peraturan yang dinamakan Fereign Soverign Immunity Act 1976. Dalam ketentuan tersebut, terdapat pengecualian umum atas imunitas mengenai yuridiksi terhadap suatu negara asing, yang dirumuskan sebagai berikut:(1) Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu kegiatan komersil (commercial activity) yang telah dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat, atau; (2) Apabila dilakukan suatu perbuatan dialam wilayah Amerika Serikat dalam hubungan dengan suatu kegiatan komersil dari negara asing di tempat lain ; (3) atau apabila suatu perbuatan di luar wilayah Amerika Serikat tetapi dalam hubungannya dengan suatu aktivitas komersil dari negara asing di luar negeri dan perbuatan tersebut telah menyebabkan suatu akibat langsung (causes a direct effect) di Amerika Serikat maka tidak berlaku imunitas.
Atas dasar peraturan khusus ini, tampaknya pengadilan di AS menerima Act of State doctrine dengan prinsip teritorialitas yaitu jika perbuatan dilakukan di dalam wilayah AS, imunitas bagi sebuah negara tidak berlaku. Hal ini menunjukan bahwa penafsiran Act of State doctrine di Amerika Serikat telah menjurus pada suatu penafsiran yang sempit, yang oleh sebagian pengamat dianggap tidak selaras dengan kondisi modern kehidupan internasional dewasa ini.
Apakah penolakan Act of State doctrinee oleh Pengadilan Banding yang menyatakan Act of State Doctrine tidak menghendaki pengadilan Amerika Serikat melindungi pihak tergugat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka yang berdiri sendiri, merupakan akibat langsung untuk keadaan Amerika yaitu hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia atau akibat langsungnya berupa Restraint and monopolize foreign Commerce seperti yang dianut AS dalam Antitrust Law-nya, yang memperluas jangkauan teritorialitas menjadi ekstrateritorial dengan kebijaksanaan dalam bidang perdagangan dan perekonomian non kompetitif, sehingga sebuah organisasi dapat mengajukan suatu pembelaan dari tindakan suatu negara (asing) berdasarkan antitrust Law AS.
Oleh karena itu, jika pendirian pengadilan banding di AS tersebut mengikuti tuntutan penggugat merupakan hal yang wajar karena pengadilan di A.S memperoleh otoritas untuk mempertahankan pendiriannya bukan berdasarkan hukum internasional.Pemberian otoritas ini diperoleh pengadilan-pengadilan AS seba­gai konsekuensi pemisahan kekuasaan atau Separation of Powers yang dianut Undang-undang Dasar AS.
D. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Kekebalan mutlak suatu negara saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena adanya aktivitas-aktivitas negara dibidang ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya.
  2. Berakhirnya konsep kekebalan mutlak bukan berarti negara-negara tidak mempunyai perlindungan atas kedaulatannya. Karena perlindungan kekebalan mutlak dapat diberikan jika suatu negara bertindak sesuai dengan kapasitasnya (tindakan politik) atau iure imperii. Tetapi jika suatu negara bertindak karena aktivitas-aktivitas ekonominya (commercial act) atau iure gestiones perlindungan kekebalan mutlak tidak dapat diberikan.
  3. Yang paling penting dalam hal doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau imunitas sekunder, bahwa tindakan suatu negara akan diakui sebagai tindakan dalam kapasitasnya (iure imperii) jika tindakan tersebut dilakukan dalam yurisdiksinya. Dan tindakan di dalam wilayah yurisdiksi tersebut akan menjadi ukuran apakah merupakan tindakan iure imperii atau iure gestiones.
Daftar Pustaka:
Andras Bragyova, Reflection Immunity of State from the Point of View of International Law, in Question of International Law, Hanna Bokor-Szego ed., Kluwer, 1986
Bistline-Loomis, The Foreign Soverign Immunities Act in Practice, AJIL vol. 73, 1979
D.P. O’Connel, International Law, London, 1965
Gerald Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin Foreign Courts, BYIL vol.14/1933
Gerald von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, London, 1990
Ita Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1990
JHL Morris, Cases on Private International Law, London, 1960
Michael Singer, The Act of State Doctrine of the United Kingdom an Analysis With Comparison to United States Practice, AJIL 75/1981
Michael Zander, The Act of State Doctrine, in The International Law in Twentieth Century, New York, 1966
Mochtar Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, 2003,
Putusan United States Court of Appeal, 5th, circuit, Aprl. 25-1979
Richard Falk, The Role of Domestic Courts in International Legal Order, Cyracus, 1964
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State before National Authorities, Collected Course HAIL, Leiden, 1976
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State Before National Authorities, NILR vol.10, 1976
Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Jkt, 1976
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, Alumni, 1975
United States; Foreign Soverign Immunities Act 1976.
UU No. 25 tahun 20077 tentang Penanaman Modal.
W. Friedmann, Some Impact of Social Organization on International Law, AJIL vol.50
PP No. 6 tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan dar Hutan Industri.

Read Full Post »

Penulis :
Natangsa Surbakti, SH.,MHum.Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber Jurnal :
Kesimpulan :
Dalam konstruksi konseptual pasal 33 UUD 1945, sistem hukum nasional seharusnya memfasilitasi kehidupan ekonomi nasional untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Fungsi memfasilitasi aktivitas ekonomi dan perdagangan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, lebih merupakan fungsi hukum ekonomi; sedangkan fungsi mencegah perilaku menyimpang yang merugikan dan melindungi warga masyarakat dan bangsa dari dampak buruk aktivitas perdagangan global, lebih merupakan fungsi hukum pidana.
Liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari proses menuju ekonomi global, menuntut pula dilakukan perubahan pada sistem hukum yang berlaku. Liberalisasi yang menandai beralihnya sistem ekonomi negara dari planned economy menuju market economy, mensyaratkan model pengaturan yang lebih sesuai dengan mekanisme dan dinamik pasar yang bercorak liberal dan demokratis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung dalam bingkai market economy, regulasi atau pengaturan aktivitas ekonomi dilakukan dengan memfungsikan hukum ekonomi serta ditopang oleh hukum pidana.
Hal ini disebabkan, sistem hukum di masa Orde Baru dengan model planned economy cenderung tidak memberikan jaminan kepastian hukum, sementara model market economy sebagai model ekonomi masa mendatang di era ekonomi global dan pasar bebas, mensyaratkan dengan sangat adanya jaminan kepastian hukum ini. Untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum ini, reformasi hukum merupakan conditio sine qua non, prasyarat mutlak yang harus disiapkan. Hukum pidana sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, yang berfungsi mem-back up bekerjanya hukum ekonomi, dengan sendirinya merupakan bidang hukum yang harus mengalami banyak pembenahan mendasar, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum.

Read Full Post »

PenulisWinahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum.

Kesimpulan :
Keberadaan prinsip pertanggungjawaban pemerintahan ini sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam memposisikan antara kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi, dan seterusnya, yang merupakan serangkaian “kekuasaan” dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak, masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbegai tindakan pemerintah yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu adanya pertanggungjawaban ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintah yang demokratis.
Pelaksanaan prinsip pertanggungjawaban secara konsisten dan konsekuen, sesungguhnya akan meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah di mata rakyatnya, sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan prinsip ini maka setidaknya akan tercapai beberapa hal penting yakni  ditegakkannya prinsip-prinsip negara hukum, pertanggungjawaban pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela, memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang selaras dengan penguatan masyarakat madani untuk memperkuat pertanggungjawaban pemerintahan agar terjadi kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hukum, maka perlu dipikirkan untuk dibentuk Undang-Undang Tentang Tanggung Jawab Negara.

Read Full Post »

Penulis : Agus Waluyo Nur

Sumber Jurnal : http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/501/413

Kesimpulan :
        Kehadiran leasing telah menciptakan wahana baru untuk  pengembangan pembiayaan investasi bagi dunia usaha, baik usaha kecil, menengah maupun besar. Adanya jasa leasing, pengusaha dapat melakukan perluasan produksi dan penambahan barang modal dengan cepat. Kebutuhan terhadap produk pembiayaan dengan system leasing ini pada dasarnya telah dirasakan sejak awal berdirinya bank- bank Islam, karena dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, bukan jasa. Bagi perbankan syariah, produk leasing sangat dibutuhkan masyarakat untuk menopang ekonomi lemah, karena mampu berpartisipasi meningkatkan dan memberdayakan perekonomian yang berwujud dalam penciptakan iklim kondusif bagi masyarakat untuk berkembang, peningkatan kemampuan masyarakat melalui pengembangan kelembagaan, dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Pembiayaan dengan sistem leasing juga sangat menarik karena tidak dituntut dengan barang jaminan yang memberatkan serta adanya opsi yang memungkinkan untuk memiliki barang di akhir periode sewa atau mengembalikannya. Untuk menghindari sistem bunga maka istilah yang dipakai bank syariah adalah ijarah, meskipun memiliki kesamaan dengan leasing.

Read Full Post »

 

Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar :

Studi Kasus Indonesia

 

Oleh: Ditha Wiradiputra

Pendahuluan

Runtuhnya Komunisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur tahun 1980-an menjadi salah satu perubahan penting di dunia selama setengah abad ini. Dimana Negara-negara tersebut sebelumnya mempercayai bahwa perencanaan yang terpusat oleh Pemerintah dalam perekonomian adalah yang terbaik. Sehingga Pemerintahlah yang kemudian dipercaya untuk memutuskan barang dan jasa yang akan dihasilkan dan yang akan mengkonsumsinya di dalam perekonomian. Dimana hal ini didasarkan atas teori yang mengatakan bahwa pemerintah dapat mengorganisasikan suatu perekonomian agar kemakmuran suatu negara dapat tercapai.[1]

Akhirnya, kebanyakan negara yang semula menganut perekonomian yang terpusat (tersentralisasi) mulai meninggalkan sistem tersebut, dan mulai mencoba mengembangkan perekonomian pasar. Dimana dalam sebuah perekonomian pasar (market economy), keputusan-keputusan yang tersentralisasi pada Pemerintah digantikan oleh keputusan dari jutaan perusahaan dan rumah tangga. Perusahaan memutuskan siapa yang akan diperkerjakan dan barang yang akan dihasilkan, kemudian rumah tangga menentukan akan kerja diperusahaan mana, dan akan membeli apa dengan pendapatan yang mereka miliki. Perusahaan dan rumah tangga akan saling berinteraksi di pasar, dimana harga dan kepentingan pribadi memandu keputusan-keputusan yang mereka buat.[2]

Inti dari ekonomi pasar adalah terjadinya desentralisasi keputusan berkaitan dengan ”apa”, ”berapa banyak”, dan ”cara” proses produksi. Setiap individu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan. Hal ini juga berarti bahwa di dalam mekanisme ekonomi pasar terdapat cukup banyak individu yang independen baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen.[3]

Lebih lanjut pada ekonomi pasar bagi sebagian kalangan dipercaya dapat membawa perekonomian kearah yang lebih efesien, dimana sumber daya yang ada dalam perekonomian dapat termanfaatkan secara lebih optimal, dan juga tidak diperlukan adanya perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Atau dengan kata lain ”serahkan saja semuanya kepada pasar,” dan suatu invisible hand yang nantinya akan membawa perekonomian kearah keseimbangan, dan dalam posisi keseimbangan, sumber daya yang ada dalam perekonomian dimanfaatkan secara lebih maksimal.[4]

Kemudian hampir sebagian besar negara berkembang, pada dekade 1980-an dan 1990-an dengan kecepatan yang berbeda-beda, mulai bergerak menuju sistem perekonomian pasar. Meskipun kemungkinan sebagian negara tersebut melakukan hal itu atas anjuran Bank Dunia, yang sering menjadikannya syarat dalam pemberian bantuan-bantunannya. Dan tampaknya telah muncul semacam konsensus bahwa peran aktif pemerintah dalam perekonomian perlu dikurangi, dan pasar perlu diberikan keluluasaan lebih besar demi tumbuhnya perekonomian yang lebih efesien.[5]

Selanjutnya sebagian besar negara berkembang berharap dengan mereka menerapkan perekonomian pasar, dan mulai mengurangi banyaknya campur tangan pemerintah, dapat lebih membawa mereka kearah kemajuan seperti yang dinikmati oleh negara-negara barat sekarang ini, yaitu kesejahteraan ekonomi.

Namun kenyataannya hal di atas tidak seperti yang semudah dibayangkan oleh negara-negara tersebut, karena efektifitas pasar memerlukan adanya dukungan institusional, kultural dan perangkat hukum tertentu, yang kebanyakan tidak atau belum dimiliki oleh negara-negara berkembang. Dibanyak negara berkembang, perangkat hukum dan institusionalnya, kalaupun ada masih sangat lemah guna mendukung beroperasinya ekonomi pasar secara efektif dan efesien. Tanpa adanya sistem hukum yang mapan, misalnya segala kontrak dan perjanjian bisnis hanya akan tinggal diatas kertas; hak cipta hanya sebuah buah bibir; dan kurs atau mata uangpun bisa berubah kapan saja. Dimana situasi kepastian hukum begitu minim, jelaslah bisnis tidak akan berkembang begitu baik.[6]

Belum lagi ternyata sesungguhnya perekonomian pasar jauh dari sempurna, dimana sulitnya mendapatkan informasi pasar yang mencukupi bagi konsumen maupun produsen mengenai harga, kuantitas, dan kualitas produk serta sumber, dan terkadang untuk mendapatkan suatu informasi diperlukan biaya yang tinggi, ditambah keberadaan skala ekonomi diberbagai sektor utama perekonomian menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha yang ingin berusaha pada sektor yang sama. Sehingga pada gilirannya hal diatas mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak tepat, dan hal ini merupakan yang tidak diharapkan oleh negara-negara tersebut ketika mereka mulai menerapkan ekonomi pasar di negara mereka.

Dan ketika negara-negara tersebut menerapkan perekonomian pasar sebagai sistem perekonomian mereka, ternyata yang didapatkan oleh mereka justru ketidak sempurnaan pasar (imperfect market), yang dikhawatirkan akan membawa negara-negara tersebut kearah jebakan keterbelakangan.

Sebenarnya salah satu sumber permasalah utama tidak tercapainya tujuan negara-negara tersebut di atas dikarenakan pasar dan mekanisme pasar bukan ”segala-galanya”, atau merupakan ”invisible hand” yang selalu mampu mengendalikan kekacauan pasar ke arah keseimbangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ekonom kelembagaan (institutional economist).[7]

Selanjutnya pemikir ilmu ekonomi klasik dan neo klasik mengasumsikan dalam perekonomian ”tidak ada biaya transaksi” (zero transaction cost) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Dan implikasinya, setiap individu diandaikan bekerja hanya menurut insentif ekonomi, tanpa meperdulikan oleh beragam aspek, misalnya sosial budaya, politik, hukum, dan sebagainya. Dan bagi ekonom kelembagaan dianggap tidak relistis.[8]

Padahal kenyataannya menurut para ekonom kelembagaan kegiatan perkonomian sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (terori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berprilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagan non pasar untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Pada level makro, kelembagaan tersebut berisi seperangkat aturan politik, sosial dan hukum yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran dan distribusi. Dan pada level mikro, kelembagaan berisi masalah tata kelola aturan main agar pertukaran antar unit ekonomi dapat berlangsung, baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi.[9]

Dan merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris. Inilah yang kemudian menimbulkan biaya transaksi[10] dan menyebabkan inefesiensi di dalam perekonomian.

 

Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar 

Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh sebagian besar negara berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu ”penganut” sistem ekonomi pasar, sesungguhnya Indonesia sudah mulai menerapkan sitem ekonomi ini untuk memandu perekonomiannya, sejak terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan dunia baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA, WTO, dan lain-lain.

Reorientasi sistem ekonomi ke arah ekonomi pasar juga sebenarnya telah dilakukan sejak diluncurkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi pada tahun 1983. Dimana  kebijaksanaan deregulasi tersebut bertujuan untuk memperkuat berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah mulai mengarahkan pengalokasian segala sumber daya dan harga menurut keinginan dan kehendak pasar.[11] Bahkan lebih jauh menurut Normin S. Pakpahan, selama tiga dasawarsa sejak Pelita I sesungguhnya Indonesia telah menyelenggarakan ekonomi pasar.[12]

Dan kemudian yang terjadi pada sebagian besar negara berkembang ternyata menimpa juga pada Indonesia, dimana sistem ekonomi pasar yang di adopsi Indonesia tidak dapat berkerja secara maksimal seperti yang diharapkan sebelumnya,  hal itu dikarenakan banyaknya kendala internal yang ada pada Indonesia sendiri, yang kemudian membuat perekonomian pasar tidak bisa berjalan secara baik. Sistem ekonomi pasar yang diharapkan dapat menyehatkan perekonomian Indonesia yang terjadi justru sebaliknya sistem ekonomi pasar malahan menyuburkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat  di dalam pasar, dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.

Merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris.

Tidak berfungsinya sistem ekonomi pasar, juga disebabkan Indonesia sebelumnya tidak tersedia aturan main atau kelembagaan terlebih dahulu di dalam pasar, yang akan mengarahkan perilaku-perilaku pelaku ekonomi di dalam pasar, agar mereka tidak berperilaku menyimpang di dalam pasar, dengan berusaha menghindari terjadinya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi, dengan maksud agar mereka dapat mengeksploitasi surplus konsumen sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.

Salah satu kelembagaan non pasar yang diharapkan dapat melindungi pasar agar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung adalah melalui adanya kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Ketiadaan kelembagaan hukum ekonomi yang kuat diduga sebagai penyebab ekonomi pasar tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Kelembagaan hukum ekonomi yang kuat jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Erman Rajagukguk ialah kelembagaan hukum ekonomi yang lebih kurang mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”.[13]  Selanjutnya dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[14]

Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[15]  Dan yang tidak kalah penting, jika sedikit mengutip pendapat Prof. Charles Himawan bahwa adanya badan peradilan yang andal (reliable judiciary) juga sangat menentukan bagi proses hukum terhadap sengketa-sengkata bisnis yang dihadapi oleh pelaku ekonomi.[16]

Sedangkan kelembagaan hukum ekonomi yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan sistem ekonomi pasar, jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Hikmahanto Juwana, telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada.[17] Sehingga perlu dilakukan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi yang ada agar dapat mendukung berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi ini dilakukan dengan cara salah satunya melalui proses transplantasi hukum dari Amerika  Serikat dan Eropa[18] ke dalam kelembagaan hukum ekonomi Indonesia.

Dengan proses transplantasi hukum ini diharapkan dapat membuat kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia dapat menjadi lebih modern, dan dapat lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masa kini yang terkait dengan aktifitas ekonomi yang belum bisa dipenuhi oleh kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia.

Kemudian jika merujuk kepada pendapat Lawrence Friedman mengenai tiga unsur sistem hukum yaitu struktur, substansi dan budaya hukum apabila dikaitkan dengan kelembagaan hukum ekonomi. Maka struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakkan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.[19]

Dan bila kita berbicara mengenai struktur institusi penegakkan hukum yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan ekonomi pasarnya, masih belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya aktfitas ekonomi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang berlarut-larut terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum dalam proses penegakkan hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan hukum yang ada belum bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan hal inilah yang kemudian membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa diharapkan terlalu banyak dapat menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara pelaku ekonomi di dalam pasar dengan baik. Sehingga tidak heran kalangan pelaku ekonomi di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa bisnis mereka dengan menggunakan lembaga arbitrase dibandingkan mereka harus mempercayakan penyelesaian sengketa bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.

Selanjutnya mengenai substansi hukum, masih merujuk kepada pendapat Friedman,  adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem. Dan substansi juga bisa berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka hasilkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.[20]

Dan pada waktu Indonesia menerapkan sistem ekonomi pasar, substansi hukum ekonomi yang harus ada sebagai prasyarat yang dapat mendukung bisa berjalan atau tidaknya ekonomi pasar belum tersedia pada waktu itu, yaitu antara lain memiliki hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha adalah salah satu aturan hukum yang harus dimiliki oleh setiap negara jika mereka menerapkan sitem ekonomi pasar sebagai sistem ekonominya. Dan Hukum persaingan usaha merupakan salah satu instrumen yang dipercaya mampu untuk memperbaiki kegagalan pasar yang diakibatkan dari persaingan yang tidak sempurna di dalam pasar.[21]

Dan kemudian yang terjadi akibat Indonesia belum memiliki hukum persaingan usaha adalah sistem ekonomi pasar yang ada malahan menghasikan maraknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar, dan pasar yang diharapkan dapat menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih maksimal dan efesien yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian Indonesia menjadi begitu tidak efesien dan kehilangan daya saingnya dengan negara lain.

Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu yang masih merupakan warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak terlindunginya pelaku ekonomi dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi menjalankan usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada belum baik serta proses peneggakannya yang masih memakan waktu yang lama membuat banyak pelaku ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam pasar.

Lebih lanjut mengenai budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain jika menurut pendapat Prof Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak berdaya.[22]

Rendahnya budaya hukum yang berlaku di Indonesia juga berkontribusi bagi tidak berfungsinya ekonomi pasar secara baik. Kurang menghargai kontrak-kontrak yang sudah dibuat di dalam bisnis merupakan salah satu bentuk manifestasi budaya hukum yang tidak baik.

Dan belum terbangunnya budaya hukum yang baik juga cukup berkontribusi bagi tidak berfungsinya beberapa kelembagaan hukum yang ditransplantasi dari negara-negara maju di Indonesia, karena budaya hukum yang ada begitu berbeda dengan budaya hukum negara dimana kelembagaan hukum ekonomi yang ditransplantasi itu berasal.

Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto Rahardjo bahwa ekonomi kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan baik tanpa didukung oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah hukum.[23] atau dengan kata lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum ekononomi yang ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh Indonesia tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.

 

Penutup

Agar dapat ekonomi pasar Indonesia berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dapat membuat perekonomian Indonesia menjadi lebih efesien, sangat ditentukan oleh dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Tanpa adanya dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat sulit bagi ekonomi pasar dapat bejalan secara baik.

Ekonomi pasar dengan kelembagaan hukum ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, meskipun terkadang perkembangan kelembagaan hukum ekonomi selalu tertinggal dari perkembangan ekonomi pasar. Namun seharusnya kelembagaan hukum ekonomi dapat selalu mengikuti perkembangan ekonomi pasar.

 

Daftar Pustaka

 

 

Adam, Rainer, Samuel Siahaan dan A.M. Trianggraini, Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia, (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006).

Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002)

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005).

Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Cet.1, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

Juwana, Hikmahanto, ” Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI.

Khemani, R. Shyam (project director), “A framework for the design and implementation of competition law and policy,” (Washington DC and Paris: World Bank, OECD, 1998).

Mankiw, N Gregory, Pengatar Ekonomi Makro, Edisi tiga, (jakarta: Salemba Empat, 2006).

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000).

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Erlangga, 2003).

Pakpahan, Normin S. ”Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan.” Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.

________________ .” Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif.” Dalam jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.

Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

Rajagukguk, Erman. ” Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi. Edisi Pertama, Jawa Timur, Bayu Media Publishing.

 

 

 

 


[1] N. Gregory Mankiw. Pengantar Ekonomi Makro, edisi tiga, (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hal. 11.

[2] Ibid.

[3] Samuel Siahaan, “Ekonomi Pasar, Perlindungan Persaingan dan Pedoman Pelaku Usaha,” dalam buku Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia yang ditulis oleh Rainer Adam, Samuel Siahaan dan A.M. Trianggraini. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia. Hal.43.

[4] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005), hal.40.

[5] Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Yakarta: Erlangga, 2003), hal. 80.

[6] Ibid., hal. 81.

[7] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000) hal.100.

[8] Ahmad Erani Yustika. Edisi Pertama, Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi (Jawa Timur: Bayu Media Publishing, 2006), Hal.xi.

[9] Ibid., hal. Xii.

[10] Ibid., hal. 104.

[11] Normin S. Pakpahan, “Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan.” Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998. hal.26.

[12] Normin S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif.” Dalam jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998. hal.19.

[13] Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Charles Himawan,”Pemulihan Ekonomi Butuh “Reliable Judiciary”. Dalam buku Hukum Sebagai Panglima. Cet.1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.35.

[17] Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI. Hal.7.

[18] Ibid. hal. 9.

[19] Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,” Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002. hal. 7-8.

[20] Ibid. hal 8-9.

[21] R. Shyam Khemani project director, “A framework for the design and implementation of competition law and policy,” World Bank, OECD, 1998. hal.2.

[22] Ibid. hal.9.

[23] Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia,” dalam buku “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.21.

Read Full Post »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.

Read Full Post »